Obama Tak Jah Beda dengan Bush!
Setelah berlalu lebih dari seminggu sejak diumumkannya kemenangan Barack Hussein Obama dalam pemilu presiden AS, tampaknya realisasi janji-janji perubahan fundamental Obama mulai memudar. Sebelumnya, lewat slogan "change" atau perubahan itulah Obama berhasil memikat rakyat AS. Pilihan mayoritas rakyat AS terhadap slogan perubahan yang diusung Obama, sejatinya merupakan tanda kebencian rakyat AS terhadap kebijakan 8 tahun George W. Bush. Keluarnya Bush dari Gedung Putih pada 20 Januari 2009 nanti mewariskan beragam masalah yang begitu berat di kancah politiÙ† luar negeri bagi sang presiden baru.
Pasca tragedi 11 September 2001, Presiden Bush melancarkan politik unilateral dan militeristik sebagai ujung tombak utama kebijakan luar negeri AS. Tak ayal, politik arogan semacam itu menjadikan Abang Sam sebagai negara yang paling dibenci di dunia. Di dalam negeri pun, Bush terbilang presiden yang paling buruk di sepanjang sejarah AS.
Baik rakyat AS maupun masyarakat internasional amat berharap pada janji-janji perubahan yang selama ini dieluk-elukan oleh Obama. Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan tekad presiden berkulit hitam pertama AS ini menggelar perubahan, tentu saja kita harus memperhitungkan beragam variabel. Sebab politik luar negeri AS banyak ditentukan oleh beragam instiusi, mulai dari lembaga politik, ekonomi, hingga militer. Karena itu, kebijakan luar negeri yang digariskan oleh seorang presiden AS pun banyak dipengaruhi oleh lembaga-lembaga tersebut. Mayoritas analis memperkirakan, Obama tidak akan sanggup untuk menggelar perubahan besar-besaran di kancah politik luar negeri AS, khususnya soal isu Timur Tengah dan Teluk Persia.
Irak dan Aghanistan akan menjadi isu utama yang akan dihadapi oleh Obama dalam masalah kebijakan luar negeri. Selama ini, kampanye Obama selalu menjanjikan penarikan tentara AS dari Irak. Suatu janji yang banyak memikat simpati warga AS dan bangsa-bangsa muslim di Timur Tengah, khususnya rakyat Irak. Namun, ketika masa pemilu makin dekat digelar, Obama pun tak lagi begitu banyak bicara soal penarikan tentara AS dari Irak. Segera setelah kemenangan Obama diumumkan, di hadapan warga Abang Sam, presiden terpilih AS ini berpesan agar jangan terlalu mengharapkan adanya perubahan yang cepat. Menjelang masa-masa akhir kepemimpinannya, Bush pun berusaha keras untuk meloloskan penandatanganan perjanjian keamanan Baghdad-Washington. Bush berharap dengan disepakatinya perjanjian tersebut, maka legitimasi dan penetapan militer AS di Irak bisa diakui.
Barack Obama menjanjikan akan menarik tentara AS dari Irak dalam tempo 16 bulan. Namun, tipis kemungkinannya presiden dari Partai Demokrat itu akan menepati janjinya. Penguasaan terhadap salah satu pemilik cadangan minyak terbesar di dunia merupakan poros utama strategi politik global dan regional AS. Olah kerena itu, besar kemungkinan politik AS di Irak pada masa kepemimpinan Obama hanya mengalami perubahan lahiriah saja.
Di Afghanistan pun, Obama akan menghadapi persoalan yang begitu pelik dan kompleks. Pada tahun 2001, Presiden Bush mengeluarkan perintah invasi ke Afghanistan dengan alasan untuk menumpas milisi Taleban dan terorisme. Meski serangan tersebut berhasil menggulingkan rezim Taleban dan membuka proses politik baru di Afghanistan, namun milisi Taleban tidak juga berhasil diberantas tapi bahkan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih solid. Saat ini milisi Taleban telah menguasai separuh dari wilayah Afghanistan. Di saat yang sama posisi pemerintah pusat Afghanistan makin lemah lantaran kegagalan AS dan sekutunya dalam memerangi Taleban.
Kini semuanya sudah tahu bahwa politik AS di Afghanistan menuai kegagalan. Negara-negara Eropa sekutu AS pun tak lagi bersedia mengikuti politik AS di Afghanistan dan mengirim pasukannya di wilayah-wilayah rawan negara ini. Padahal Obama kerap kali menegaskan untuk lebih serius memerangi Taleban.
Seperti halnya di Irak, Obama tidak akan menarik total tentara AS dari sana, di Afghanistan pun dia tidak akan melanjutkan operasi penumpasan Taleban seperti sebelumnya. Setelah tujuh tahun berperang, pemerintah Afgahnistan, negara-negara asing yang mengirim pasukannya ke negera ini, mulai sadar akan pentingnya menjalin dialog dengan pihak Taleban. Lewat lampu hijau AS dan Eropa, pemerintah Kabul mencoba berdamai dengan Taleban dan memberikan kesempatan kepada kelompok tersebut untuk turut andil dalam percaturan politik di Afghanistan.
Pendekatan dialogis dengan Taleban, sejatinya bertentangan mendasar dengan tujuan AS menggelar invasi ke Afghanistan pada tahun 2001. AS dalam invasinya ke Afghanistan, meneriakkan slogan perang melawan terorisme dan mewujudkan pemerintahan yang kuat. Ironisnya, AS bukan hanya gagal mewujudkan pemerintahan yang kuat di Kabul, tapi juga gagal menciptakan situasi perekonomian dan keamanan yang lebih baik. Sementara janji-janji bantuan internasional senilai miliaran USD untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial rakyat Afghanistan tak juga mengucur.
Buntunya proses perundingan damai Timur Tengah merupakan persoalan lainnya yang diwariskan Bush kepada Obama. Pasca pendudukan Irak, AS melontarkan proyek Timur Tengah Raya untuk merangsang perundingan damai di Timur Tengah. Pokok utama proyek tersebut adalah untuk memperluas infiltrasi politik AS di kawasan Timur Tengah lewat kedok mewujudkan kebebasan dan demokrasi. Melalui proyekinya itu, AS berencana untuk menciptakan sabuk pengaman bagi rezim zionis Israel dan memaksa negara-negara regional menerima ambisi ekpansionis Israel dalam proses perundingan damai Timur Tengah.
@
Tagged @ Yahudi
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten