Peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun. Angka ini mengalahkan utang di era Soeharto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun.
Selain sangat Americanized, acara deklarasi SBY-Boediono juga menyampaikan pesan lain lewat bahasa simbolik mereka.
Acara yang sebenarnya sangat biasa saja ini, dan bisa diselengarakan dengan biaya yang murah, oleh Partai Demokrat (PD) dikemas dalam kemasan yang sangat mahal, mewah, dan megah. Apa artinya?
Tidak Berpihak Pada si Miskin
Acara Deklarasi SBY-Boediono yang digelar Jum’at sore, 15 Mei 2009, di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung menelan biaya tidak kurang dari 1,5 miliar rupiah. Ini sungguh suatu pameran kemewahan yang luar biasa di tengah-tengah penderitaan ratusan juta rakyat Indonesia yang untuk makan saja sangat sulit.
Seorang pembaca KOMPAS (16 Mei 2009) dalam Rubrik “Kata Kita” yang lainnya mengirim pesan singkat: “Deklarasi SBY-Boediono menghamburkan uang dan tak merakyat. Event Organizer-nya ngesok benar!” (Kusmulyadi, Bandar Lampung, +6285697514XXX)
Sejumlah pengamat politik juga menyesalkan mengapa SBY-Boediono tega-teganya menggelar hajatan mewah tersebut di saat jutaan rakyatnya masih berkubang di lumpur kesengsaraan yang amat parah. Beberapa orang bahkan menganggap pasangan ini takabur dan terlalu percaya diri, seolah-olah mereka sudah pasti menang, padahal belumlah tentu.
Setiap orang pastilah menyadari jika di balik setiap tema acara, terdapat makna filosofis yang menggambarkan jatidiri yang punya hajat. Dan acara mewah tersebut dengan sangat baik menyampaikan pesan kepada rakyat Indonesia: “Kami tidak memiliki empati terhadap nasib kalian.”
Hal ini tentu dibantah oleh yang punya hajat. Namun bahasa simbol bicara dengan jujur dan setiap orang yang memiliki nurani pasti merasakan hal itu. Pakar komunikasi politik Dr. Effendi Ghazali dalam beberapa kesempatan di sejumlah acara teve juga menyatakan jika acara mewah tersebut mengirim pesan jika mereka tidak pro-rakyat miskin.
“Beda dengan pasangan Mega Pro yang menggelar acara deklarasi di Gunung Sampah Bantar Gebang. Yang ini jelas, lewat komunikasi politik yang ada, mereka hendak menyatakan bersungguh-sungguh berdiri di belakang rakyat miskin.”
Entah berkaitan atau tidak, tidak dimilikinya empati dalam acara mewah tersebut sejalan dengan konsep-konsep IMF yang sejak tahun 1998 menawarkan konsep-konsep yang banyak membunuh jutaan rakyat miskin di negeri ini. Walau Boediono membantah dirinya sebagai agen IMF, namun banyak konferens pers yang dia gelar sebagai pejabat Gubernur BI atau Menko Perekonomian dahulu menyatakan hal sebaliknya.
Dalam artikel berjudul “Jalan Liberal Pak Boed” (Media Indonesia, 28 Febr 2007), ekonom UGM Revrisond Baswir menulis jika pidato pengukuhan Dr. Boediono sebagai guru besar ekonomi di UGM Yogyakarta, setebal 28 halaman dengan 24 sumber referensi ternyata mengacuhkan sistem perekonomian kolonial yang berjalan di negeri ini berabad-abad.
Oleh Baswir, Boediono yang tengah menjabat sebagai Menko Perekonomian ini, ternyata melupakan era kolonial sebagai bagian integral dari sejarah perekonomian negeri ini. “Padahal, era kolonial ialah bagian teramat penting dari sejarah perekonomian Indonesia. Ia tidak hanya penting karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Ia juga penting sebab aspek ekonomi adalah aspek utama dari kolonialisme”, demikian Baswir.
Sebab itu, demikian Baswir, Boediono telah melupakan kenyataan sejarah jika berakhirnya era Soekarno bukan semata-mata karena krisis ekonomi, namun lebih disebabkan intervensi Amerika Serikat (AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia dalam memicu krisis ekonomi Indonesia. Hal yang sama juga bisa ditarik pada peristiwa mundurnya Suharto. Namun Boediono hanya melihat hal itu sebagai rentetan sejarah, tidak slaing kait-mengkait.
“Kepatuhan” Indonesia pada IMF, World Bank, dan sebagainya inilah yang kemudian menjadikan bangsa ini dari tahun ke tahun menimbun utang yang kian banyak. Berbeda dengan keterangan rezim SBY yang mengklaim telah berhasil menurunkan utang bangsa ini dan telah melunasi utang IMF, namun kita juga tahu jika IMF bukan satu-satunya lembaga pengutang, selain IMF ada ADB, World Bank, dan sebagainya.
Dalam artikel berjudul “Pernyataan SBY Soal Utang Luar Negeri Tidak Memihak Rakyat” (Koalisi Anti Utang, 7 April 2009), Ketua KAU Dani Setiawan memaparkan data-data valid yang dimilikinya yang ternyata menunjukkan jika utang Indonesia bukannya kian berkurang tapi malah membengkak di era SBY. “Outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004 – 2009 juga terus meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun (www.dmo.or.id).
Ditambah dengan peningkatan secara signifikan total utang dalam negeri dari Rp662 triliun (2004) menjadi Rp920 triliun (2009). Artinya Pemerintah “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun.
Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang di era Soeharto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun.”
Ironisnya, kegemaran ngutang—yang didukung para Neolib di sekelilingnya—ini di era SBY tidak didukung oleh pembenahan pemerintahan yang bersih. Anti korupsi cuma pemanis bibir. Pemberantasan tindak pidana korupsi masih tebang-pilih.
Sebab itu, hasil riset lembaga internasional The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dirilis April 2009 kemarin memaparkan temuan jika Indonesia masih menjadi negara terkorup di Asia. Riset PERC tersebut dilakukan pada Maret 2009 terhadap 1.700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat.
Acara Deklarasi SBY Boediono dalam bahasa simbol jelas menyampaikan pesan jika mereka sangat terobsesi oleh Amerika Serikat, panglima kapitalisme dunia yang melahirkan gerakan Neo Liberal dan juga tidak memihak kaum miskin. Mendapat serangan ini, dalam bebagai sorum SBY berkali-kali menolak jika Boediono dikatakan sebagai ikon Neo Lib.
Namun ada pepatah, jika kita ingin melihat seseorang maka lihatlah siapa sahabat-sahabatnya. Nah, dalam dua peristiwa kemarin: Saat berangkat ke Bandung untuk menghadiri deklarasi, Boediono di kereta api didampingi oleh Muhammad Ikhsan yang duduk di sebelahnya, lalu ada pula M. Chatib Basri. Keduanya dikenal masyarakat luas sebagai pendukung Neo Lib. Dalam acara deklarasi juga hadir Sri Mulyani, mantan direktur IMF yang diangkat oleh SBY sebagai Menteri Keuangannya.
Lalu di hari yang lain, saat menjenguk Taufik Kiemas—suami Megawati—yang sakit di Jakarta, Boediono juga tampak didampingi Rizal Mallarangeng. Sosok ini dikenal luas sebagai ekonom Neo Liberal sekaligus aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal).
Mudah-mudahan rakyat Indonesia bisa melihat dengan jernih siapa sesungguhnya pasangan capres-cawapres ini, dan tidak terpengaruh serta tidak tertipu oleh bualan para tokoh partai politik pendukung kaum liberal ini.
Kita tentu masih ingat, saat menjelang pemilu legislatif kemarin, para politisi “Islam” menyerukan agar umat memilih mereka dengan mengatakan jika umat Islam tidak memilih mereka, maka suara kaum sekuler dan kafir akan unggul.
Namun ironis, di saat suara umat sudah berada di kantung mereka, dengan enaknya para politisi “Islam” ini malah bersekutu dengan orang-orang liberal dan kaum kafir untuk mendukung satu pemimpin, hanya dengan imbalan beberapa kursi menteri.
Jika demikian tidak salah jika umat menyatakan bahwa orang-orang seperti ini sesungguhnya adalah Pedagang Umat, yang menjual agama dan umat-Nya demi kenikmatan dunia. Mudah-mudahan dalam Pemilu 2014 umat Islam tidak tertipu lagi oleh orang-orang seperti ini. Amien.
@
Tagged @ News
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten