Jahil Menjahili di Jaman Jahil Menjadi Keharusan

Propaganda ”Lintas Agama” yang Kian Canggih

Usaha propaganda paham liberal makin canggih. Termasuk aktivitas pusat kegiatan penyebaran pahamnya di kampus UGM.

Huntington tampaknya tidak bohong dalam hal yang satu ini. Bahwa, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sangat serius dalam ”menggarap” Islam. Dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Jadi, menurut Huntington, perang ideologis AS dengan kaum komunis militan, kini telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya dengan Islam militan.

Meskipun secara formal, banyak pejabat AS yang menyangkal kebenaran pendapat Huntington, tetapi fakta di lapangan menunjukkan, memang kebijakan luar negeri AS kini banyak diarahkan pada upaya ”penjinakan Islam”. Dalam sejarah kolonialisme dan orientalisme, ini memang bukan hal yang baru. Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kelompok yang ”ter-Barat-kan” di kalangan kaum pribumi, telah dilakukan oleh penjajah Belanda. Kelompok inilah yang secara aktif membendung aspirasi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan cara ini, tentu ”sang Tuan” tidak perlu capek-capek lagi menghadapi umat Islam.

Kini, di era imperialisme modern, tampak program keagamaan AS semakin jauh memasuki area-area yang sangat personal dari kaum Muslim, yakni urusan pemahaman dan keyakinan agamanya. Seriusnya AS dalam pengembangan dan penyebaran Pluralisme Agama di Indonesia bisa menjadi salah satu indikator penting, bagaimana seriusnya program penggerusan keyakinan umat beragama, khususnya Islam.

Untuk menyimak usaha tersebut, simaklah aktivitas salah satu pusat kegiatan penyebaran paham lintas agama yang bernama Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di UGM Yogyakarta. Program ini diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS di Indonesia. Ini bisa dibaca pada Laporan Kebebasan Beragama tahun 2007 yang dibuat oleh Keduataan AS di Jakarta. [http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_2007):

”Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat… Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.”

Begitulah program keislaman AS. Adalah menarik, bahwa sebagai satu program studi agama tingkat S-2 di UGM, CRCS juga aktif menyebarkan paham-pahamnya ke tengah masyarakat. Melihat berbagai aktivitasnya, tampak CRCS bukan sekedar lembaga studi biasa. Dia mempunyai misi besar merombak pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, sehingga sejalan dengan pemahaman yang dikehendaki oleh sang pemilik dana.

Sebagai contoh, dalam rangka menjalankan misinya tersebut, pada 19 Februari 2009 lalu, CRCS menggelar acara bedah buku berjudul When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim karya Dr. Syafa’atun Almirzanah, dosen UIN Yogyakarta. Buku ini merupakan disertasi doktor penulis di Chicago University. Karena dianggap begitu penting dalam penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia, maka acara bedah buku semacam ini juga diselenggarakan di berbagai kota.

Buku ini memang tampak canggih. Maklum, selain penulisnya maraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Chicago University, ia juga meraih gelar Doctor of Ministry (D.Min) di Catholic Theological Union of Chicago. Ia membandingkan pemikiran dua pemikir terkenal dalam sejarah Islam dan Katolik, yaitu Ibn Arabi dengan Meister Eckhart. Tapi, jika ditelaah dengan cermat, perspektif yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah filsafat perenial dan gagasan Kesatuan Transendensi Agama-agama (Trancendent Unity of Religion). Penulisnya menolak pemahaman kaum Muslimin pada umumnya, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berfungsi menghapus (abrogate) agama-agama wahyu sebelumnya.
Ditulis dalam bukunya:
Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam Al-Quran menghapus (naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya – sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam menghapus agama-agama yang ada sebelumnya – Ibn Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian.”

Seperti dilakukan oleh sejumlah kaum liberal di Indonesia, penulis buku ini juga tampak mencari legitimasi bagi paham Pluralisme Agama pada pemikiran dan sosok klasik dalam Islam. Dalam buku ini, yang dijadikan sebagai sasaran adalah sosok Ibn Arabi (w. 638 H/ 1240 M), yang memang sejumlah pemikirannya menjadi kontroversi di kalangan para ulama. Oleh kaum liberal, sosok Ibn Arabi dipaksakan sebagai sosok yang mendukung gagasan pebenaran semua agama dan menolak konsep Islam sebagai agama yang menghapus agama-agama Nabi sebelumnya.

Dr. Syafa’atun Almirzanah, penulis buku ini, memang dikenal sebagai aktivis Interfidei, salah satu organisasi lintas agama di Yogyakarta. Tampaknya, visinya sebagai aktivis lintas agama, mendorongnya untuk mengais-ngais khazanah klasik – dalam tradisi Islam dan Katolik – sebagai bahan legitimasi adanya “titik temu” pada level esoteris antar berbagai agama. Dalam bukunya, ia menjadikan sejumlah karya William C. Chittick, seperti Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, sebagai kacamata dalam melihat konsep agama-agama Ibn Arabi.

Padahal, “kaca mata” Chittick itulah yang bermasalah. Chittick sudah berasumsi, Ibn Arabi adalah sosok yang mengakui validitas semua agama. Dr. Syamsuddin Arif, dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), sudah memberikan koreksi terhadap Chittick dalam menjelaskan konsep agama Ibn Arabi. Tanpa menafikan sisi kontroversial Ibn Arabi sendiri, tokoh sufi ini pun tetap menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tulis Ibn Arabi.

Dr. Mohd. Sani bin Badrun, salah seorang cendekiawan alumnus ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, selama belasan tahun telah meneliti konsep-konsep keagamaan dan konsep Tuhan Ibn Arabi. Dia menulis tesis master dan disertasi doktor tentang Ibn Arabi. Tahun 1998, dia menyelesaikan tesis masternya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”. Ibn Arabi berpendapat, bahwa syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Al-Quran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Al-Quran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr. Mohd. Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa a.s. dan Muhammad saw. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw dan Al-Quran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad saw, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.

Fakta-fakta pendapat Ibn Arabi seperti ini sama sekali tidak muncul dalam disertasi doktor yang dipuji-puji oleh Dr. Haidar Bagir, sebagai karya yang sangat akademis, mendalam dan memikat, dan merupakan sumbangan yang tak ternilai bagi dialog antaragama. Bahkan, rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, menulis: “Buku ini hadir tepat waktu dan penulis dengan sangat brilian menghadirkan dua ikon pemikir mistik Barat dan Timur, Kristen dan Muslim, saat agama diseret-seret dalam konflik perebutan hegemoni politik dan ekonomi sehingga wajah agama menjadi bengis.”

Kita bisa membandingkan kedalaman bahasan antara tesis Dr. Mohd. Sani Badrun dengan karya Dr. Syafaatun yang banyak merujuk sumber-sumber sekunder, terutama pada karya-karya William Chittick. Sama dengan Chittick, Syafaatun juga memaksakan visi Pluralisme dan Inklusifnya dalam memandang karya Ibn Arabi. Sebagai contoh, kutipan dari Kitab Futuhat Makkiyah yang diambil dari buku Chittick berikut ini:

”Semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun demikian, hal itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (nasakh) – Itu adalah pendapat orang bodoh.”


Dalam bukunya, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity, Chittick memang menulis, “The Syaykh sometimes criticizes specific distortion or misunderstanding in the Koranic vein, but he does not draw the conclusion that many Muslims have drawn – that the coming of Islam abrogated (naskh) previous revealed religions. Rather, he says, Islam is like the sun and other religions like the stars…Concerning abrogation, the Syaykh writes, “All the revealed religions (sharāi’) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among lights of the stars…”

Jadi, kesimpulan penulis buku When Mystic Masters Meet, bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya, memang diambil dari buku Chittick, dan bukan pemahaman langsung dari karya-karya Ibn Arabi sendiri. Cendekiawan Muslim terkenal asal Eropa, Noh Ha Mim Keller, juga pernah secara khusus mengkritisi cara pengutipan dan pemahaman karya Ibn Arabi oleh Chittick. Ia membuat terjemah yang lebih tepat terhadap bagian Futuhat yang dikutip Chittick: “The religious law (sharāi’) are all lights, and the law of Muhammad (Allah bless him and given him peace) among these lights is as the sun’s light among the light of the stars: if the sun comes out, the light of the stars are no longer seen and their lights are absorbed into the light of the sun: the disappearance of their light resembles what, of religious laws, has been abrogated (nusikha) by his law… if the prophetic messengers had been alive in his time, they would have followed him just as their religious laws have followed his law” (dikutip dari tesis Dr. Mohd Sani bin Badrun).

Jadi, di sini, sebenarnya Ibn Arabi bicara tentang syariat para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Bukan tentang agama wahyu secara keseluruhan. Tampak jelas, bagaimana ketidakakuratan kutipan Chittick yang kemudian juga diikuti oleh Syafaatun. Padahal, kalimat terakhir pada kutipan di atas bermakna: “andaikata para nabi hidup di zaman Nabi Muhammad saw, mereka akan mengikuti Nabi Muhammad sebagaimana hukum-hukum agama mereka juga mengikuti hukum yang dibawa Nabi Muhammad.” Ini maknanya, ada abrogasi (penghapusan) dalam soal hukum. Tetapi tidak dalam soal aqidah, karena semua Nabi sama-sama mengajarkan Tauhid.

Bahkan, hasil penelitian Dr. Sani pun menunjukkan, menurut Ibn Arabi, agama apa pun yang masih eksis, yang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, maka tidak dapat dikatakan sebagai “agama wahyu” (revealed religion). Ia juga memberikan kritik keras terhadap kaum Yahudi yang menuduh Maryam tidak suci dan Yesus sebagai anak zina. Ibn Arabi juga mengkritik keras paham trinitas kaum Kristen dan berbagai penyimpangan yang telah terjadi dalam kitab-kitab sebelum Al-Quran.

Adalah menarik menelusuri upaya sistematis dalam pembacaan karya-karya Ibn Arabi yang dilakukan oleh kaum Transendentalis. Menurut aliran ini, kaum Muslim dibagi menjadi dua: eksklusifis dan inklusifis. Yang terakhir, mengakui adanya kesatuan esoteris (dimensi batin) pada semua agama. Kaum sufi, menurut mereka, adalah kaum inklusifis. Kesalahan awal tentang ini muncul dari hasil penelitian tentang Ibn Arabi yang dilakukan Abu al-A’la al-Afidi, yang menyimpulkan bahwa agama Ibn Arabi adalah “agama universal” bukan Islam dalam bentuknya yang khusus.

Upaya memasukkan Ibn Arabi ke dalam barisan Transendentalis kemudian datang dari para pengkaji kesufian dari Barat, seperti Renė Guėnon (d. 1951), Ananda Coomaraswamy (d. 1947), Titus Burckhard, Marco Pallis, Martin Lings, dan khususnya Frithof Schuon (lahir 1907). Tetapi, menurut Dr. Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Banyak yang kemudian mengikuti secara membabi buta cara pembacaan Chittick terhadap Ibn Arabi.

Kasus disertasi doktor dosen UIN Yogya – yang disebarluaskan oleh berbagai institusi pendukung Pluralisme Agama -- ini lagi-lagi membuktikan adanya upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh untuk merusak pemikiran kaum Muslim Indonesia. Mungkin penulisnya memang khilaf, tidak tahu, bahwa yang ditulisnya adalah salah. Setelah diberitahu, seyogyanya, dia menyadari kekeliruannya. Mungkin dia memang sengaja untuk melakukan hal itu, dan mendorong manusia untuk mengikuti jalan pikiran dan aktivitasnya. Allah Maha Tahu akan niat dan tujuan perbuatan tiap orang.

Kita kadang terheran-heran dengan kaum Pluralis. Mereka sering mengecam orang-orang yang meyakini kebenaran agamanya sendiri. Tapi, kita sering melihat, mereka pun begitu ngotot dengan pendapatnya sendiri, menutup rapat-rapat mata dan telinga dari berbagai kritik, dan kemudian bahkan memaksa orang lain untuk mengikutinya. (Jakarta, 6 Maret 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com


@



1 comments - Skip ke Kotak Komentar

endy saputro said...

Tanggapan untuk Adian: CRCS “Bukan Sekedar Lembaga Studi Biasa”

Monday, 16 March 2009 07:41
Dalam beberapa tulisannya (setidaknya ada tiga yang saya temukan) yang dimuat di http:///www.hidayatullah.com dan direplikasi di beberapa situs, Sdr. Adian Husaini menyampaikan pandangannya mengenai Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies, atau CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tulisan yang terakhir berjudul “Propaganda Lintas Agama yang Kian Canggih” (6 Maret 2009). Kami berterimakasih atas perhatian tersebut, namun beberapa pandangannya, sayang sekali, tidak tepat, termasuk menyangkut fakta. Memandang bahwa Sdr. Adian adalah penulis produktif yang tulisannya dibaca banyak orang, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan, mewakili CRCS, maupun pandangan saya pribadi, baik mengenai beberapa fakta tentang CRCS, maupun misi dan pandangan-pandangannya.
Pertama, perlu saya ingatkan bahwa CRCS bukanlah sebuah lembaga atau organisasi Islam, dan sasarannya bukan hanya Muslim. Ini adalah sebuah program akademik pada tingkat S-2 di Sekolah Pascasarjana UGM, yang notabene tak memiliki afiliasi keagamaan. Sebagaimana halnya program akademik lain di universitas umum, mulai dari Kedokteran, Teknik, hingga Sastra, baik pengajar maupun mahasiswanya datang dari beragam latar belakang agama. Namun CRCS memang bukanlah “sekedar lembaga studi biasa”, seperti dikatakan Adian.
Saya akan menjelaskan “ketidakbiasaan” CRCS nanti. Bagi Adian sendiri, itu dikaitkan dengan klaimnya bahwa CRCS “diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS di Indonesia.” Bukti yang diajukannya adalah Laporan Kebebasan Beragama 2007 yang dikeluarkan oleh U.S. Department of State. Benar ada laporan tersebut, dan bahwa CRCS disebut di sana, namun, ini hal pertama, yang dikatakan di sana adalah bahwa misi diplomatik AS (terus) mendanai CRCS—bukan CRCS merupakan bagian darinya. Penjelasannya seperti ini. Pada tahun 2006-2007, sebuah program CRCS yang diajukan ke The Asia Foundation (TAF) disetujui untuk didanai. Sejauh kami tahu, TAF memiliki beberapa sumber pendanaan program-programnya, salah satunya dari pemerintah AS. Program yang disetujui itu adalah talkshow dua mingguan, bukan dua bulanan, seperti disebut Adian di tulisannya. Program tersebut berjalan pada 2006-2007, dan telah resmi selesai pada Mei 2007.
Siapakah “sang pemilik dana”?

Yang penting diluruskan adalah kesan bahwa CRCS adalah program AS, yang disebut “sang pemilik dana” oleh Adian. Pertama, dana yang disebut dalam Laporan tersebut hanya menyangkut aktifitas tahun 2006-2007 itu, bukan pendanaan CRCS. Kedua, program Resonansi juga mustahil bisa berjalan hanya dengan dana tersebut. Partisipasi TVRI Yogya dan RRI (nasional) tak bisa diabaikan. Sesungguhnya, nama “Resonansi” sendiri adalah nama program TVRI Yogya yang telah berjalan jauh sebelum kami mulai terlibat di sana, dan masih berjalan hingga kini, setelah program kami selesai. Saya khawatir pandangan Adian terlalu membesar-besarkan AS, melampaui kemampuan negara itu sendiri.
Dalam semua kerjasama dengan banyak lembaga di Indonesia maupun luar negeri, prosesnya bukanlah suatu lembaga mendekati kami, dan menawarkan programnya untuk kami jalankan. Selalu—dan tak ada perkecualian untuk ini—inisiatif pertama datang dari kami, yang mendefinisikan tujuan kami sendiri, menentukan siapa nara sumber yang akan diundang, dan segala hal teknis lainnya. Sebetulnya cukup sering usulan program kami ditolak. Suatu usulan diterima kalau ada kesepahaman mengenai hal-hal prinsipnya, seperti tujuan, dan sebagainya. Seperti halnya proses komunikasi biasa, kadang-kadang tentu salah satu pihak mesti berkompromi, setelah melalui negosiasi untuk mempersuasi salah satu pihak; prosesnya bukan satu pihak mendiktekan keinginannya sendiri ke pihak lain. Dari pihak CRCS sendiri, kami selalu berusaha mempertahankan independensi dalam mengambil keputusan-keputusan prinsipil seperti tujuan, format acara, atau nara-sumber. Rasanya kami tak terlalu naif berhadapan dengan pihak luar. Kami bersyukur, sejauh ini keinginan untuk independen itu cukup dihormati, dan ada ruang yang cukup luas untuk kreatifitas kami. Karena itu, kalau ada kekeliruan yang dibuat CRCS dalam program-program tersebut, seperti yang diajukan Adian, sebetulnya tak perlu jauh-jauh mengacu pada pendukung dana. Yang perlu dikritik adalah CRCS sendiri. Kami akan senang menerima kritikan Anda dan berdiskusi mengenainya, dan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihan kami.
Berani saya katakan bahwa semua universitas di seluruh dunia memerlukan dukungan dari pihak luar universitas untuk mengembangkan dirinya, baik itu dari yayasan milik perseorangan, lembaga pemerintah, komunitas atau organisasi keagamaan, ataupun perusahaan. Debat mengenai independensi selalu terjadi. (Contoh menarik mutakhir: ketika Harvard University dan Georgetown University masing-masing menerima 20 juta dollar AS dari Prince Al-Waleed untuk mengembanhgkan kajian keislaman yang lebih simpatik). Terlalu simplistis untuk mengatakan bahwa menerima dana dari satu pihak berarti menjadi milik pihak itu.
Jika AS bukanlah “sang pemilik dana” CRCS, lalu dari mana sumber dana CRCS? Yang paling penting adalah dari pemerintah Indonesia dan SPP mahasiswa. Dari pihak pemerintah, tentu adalah Departemen Pendidikan Nasional, melalui UGM, yang paling berperan dalam membiayai CRCS. Pada beberapa tahun pertama, kami berterimakasih juga kepada Departemen Agama yang membantu menjadikan CRCS sebagai program studi internasional yang berwibawa, dengan dukungannya untuk menghadirkan dosen-dosen berkualitas. Setelah beberapa tahun, kami disapih dari Depag. Bantuan-bantuan khusus tersebut, khususnya pada tahun-tahun awalnya, amat berarti, karena, sebagaimana kita semua ketahui, SPP untuk sebuah perguruan tinggi negeri tak bisa menutupi semua ongkos pendidikan.
Dana dari luar diperlukan untuk dua jenis aktifitas. Pertama, memperkuat program akademik yang tak bisa didanai UGM atau Diknas (termasuk mengembangkan perpustakaan, mengundang dosen tamu, dan mengupayakan beasiswa); kedua, untuk mengembangkan CRCS sebagai lembaga riset dan pendidikan publik. Untuk kategori pertama, baru-baru ini kami menerima bantuan dari Selandia Baru untuk pembelian buku-buku perpustakaan. Dana yang diberikan adalah dalam bentuk uang tunai, dan kemudian pemilihan buku dilakukan oleh Komite Perpustakaan yang kesemuanya terdiri dari dosen dan staf di UGM. Perpustakaan itu sendiri, yang terletak di Gedung Pascasarjana UGM, tidaklah terlalu besar (saat ini koleksinya baru mencapai 8000 judul), tapi sangat terfokus pada buku-buku kajian agama kontemporer. Dalam hal ini, CRCS memang “tidak biasa”; tak banyak program studi yang memiliki perpustakaannya sendiri. Bagi kami ini amat penting, terutama karena bidang kajian agama adalah bidang baru di UGM (dan setahu kami belum ada di perguruan tinggi umum lain di Indonesia).
Untuk dosen tamu, salah satu lembaga yang sering membantu kami adalah Fulbright (di Indonesia diwakili oleh Aminef). Prosesnya biasanya adalah kami mengajukan permintaan dosen dalam bidang keahlian tertentu, yang kemudian dipertimbangkan, dan kadang-kadang bisa dipenuhi, kadang-kadang tidak. Jadi, ceritanya bukanlah dosen “dikirim untuk mensukseskan misi imperialisme AS”, misalnya. Seingat saya, hingga tahun lalu, ketika Presiden Bush masih berkuasa, sebagian besar dosen AS tersebut justru amat kritis terhadap pemerintahannya sendiri, dan menyampaikannya secara terang-terangan. Selain dari AS, kami pernah mendapat dosen tamu dari Afrika Selatan, Selandia Baru, Iran, dan beberapa negara lain.
Menyangkut beasiswa, tidak pernah ada sumbangan yang datang dari AS secara langsung atau tak langsung. Hingga tahun ini, beasiswa terbesar adalah yang diberikan oleh program BPPS, Diknas, yang setiap tahunnya diterima setengah mahasiswa CRCS, bersama banyak mahasiswa dari program lain di UGM. Di luar itu, untuk mereka yang tidak memenuhi syarat BPPS, dua sumber yang pernah secara signifikan memberikan beasiswa adalah individu perorangan beragama Buddha, dan sebuah lembaga Islam berbasis di Libya, Jam’iyyah al-Da’wah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah (World Islamic Call Society). Yang menggembirakan kami, kedua sumber itu tak mensyaratkan latar belakang agama tertentu mahasiswa yang berhak menerima beasiswa. Mahasiswa dari latar belakang agama apapun berhak menerima beasiswa tersebut. Setidaknya tiga tahun terakhir ini, dana beasiswa tersebut telah berhenti. Saat ini, selain beasiswa BPPS, mahasiswa dapat mengajukan beasiswa ke Sekolah Pascasarjana UGM atau ke CRCS, meskipun jumlahnya amat terbatas (sekitar 6 beasiswa per tahun dari kedua sumber ini, terbatas untuk keringanan SPP, tanpa biaya hidup). Sudah selama 3 tahun terakhir ini banyak mahasiswa yang membayar SPP dan menghidupi dirinya sendiri, atau mencari beasiswa sendiri ke sumber-sumber di luar UGM. Yang kini diupayakan CRCS adalah membangun dana wakaf dari donasi perorangan atau lembaga agar dapat terus memberikan beasiswa setidaknya secara terbatas. Saat ini kami masih terus membuka donasi untuk ini dari siapapun, tanpa syarat mengikat.
Tri Dharma Perguruan Tinggi di CRCS

Sdr. Adian memperingatkan pembacanya bahwa CRCS “bukan sekedar lembaga studi biasa”. Untuk ini, saya harus setuju sepenuhnya! Dan itulah yang menjadi salah satu kebanggaan kami. Dalam sebuah tulisan saya pribadi mengenai perkembangan disiplin religious studies di Indonesia (yang akan diterbitkan tahun ini), saya persis mengatakan bahwa, dalam konteks Indonesia, dimana agama memainkan dan masih akan terus memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat, sebuah program studi kajian agama tak bisa hanya menjadi “sekedar lembaga akademik.” Aktifitas-aktifitas CRCS secara umum dapat dipahami sebagai penerjemahan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Di CRCS, penerjemahan itu dilakukan dengan memperhatikan konteks disiplin yang dikaji maupun masyarakat Indonesia.
Apakah misi CRCS, seperti dikatakan Adian, “ingin merombak pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia”? Saya jawab lagi dengan tegas: Ya—meskipun saya tak akan mengungkapkannya dengan kata-kata itu. Bukankah universitas justru diharapkan tak menjadi menara gading, tapi ikut terlibat dalam persoalan masyarakatnya? Dalam hal ini, concern utama CRCS memang menyangkut agama—dan sekali lagi, bukan hanya Islam—dan yang diupayakan mungkin lebih tepat diekspresikan sebagai “ikut memperbaiki”, bukan “merombak”. Di sini pun, perlu diingat bahwa staf CRCS bukanlah kumpulan para agamawan; tapi pekerja akademik yang—ini harapan kami—juga memiliki concern pengembangan masyarakat.
Yang tidak saya setujui dari paragraf Adian yang saya kutip di atas adalah “sejalan dengan pemahaman yang dikehendaki sang pemilik dana”. Semoga saya sudah menunjukkan di atas bahwa “sang pemilik dana” bukanlah suatu entitas tunggal yang asyik mendikte, tapi terutama adalah masyarakat Indonesia sendiri, plus banyak lembaga yang amat beragam dari Indonesia maupun negara-negara lain, yang tak berafiliasi keagamaan maupun berafilisiasi Islam, Buddha, Kristen dan sebagainya.
Bagaimana dengan Tri Dharma PT di CRCS? Menyangkut pendidikan, penting dikatakan bahwa tak ada upaya semacam penanaman ideologi pluralisme—atau ideologi apapun—sebagaimana halnya tak ada dakwah agama apapun di lembaga akademik ini. Dalam matakuliah Filsafat Agama, misalnya, pluralisme teologis model John Hick atau Seyyed Hossein Nasr memang dibahas. Namun—sebagaimana semua pemikiran lain yang dibahas—kemudian dikritik dan ditunjukkan kelemahannya. Tokoh-tokoh tersebut dibahas, sebagaimana dalam matakuliah lainnya tokoh-tokoh seperti Sigmund Freud, Karl Marx, John Rawls, Clifford Geertz, Fazlur Rahman, Abdullahi an-Na’im, Mehdi Golshani, Farid Esack dan banyak pemikiran lainnya, dibahas secara kritis. Yang penting untuk lembaga pendidikan seperti CRCS bukanlah mengimani pandangan tokoh-tokoh tersebut, tapi melatih mahasiswa berpikir secara kritis dan melihat sesuatu secara kompleks, tidak “hitam-putih” atau “kawan-lawan”, demi membentuk pemikirannya sendiri secara otentik. Realitas terlalu kompleks untuk diungkapkan dalam kategori tersebut. Melihat dari karya tulis mahasiswa, kami dapat dengan bangga mengatakan bahwa tujuan itu sedikit banyak sudah berhasil dicapai.
Dua dharma PT lainnya kami kembangkan melalui Divisi Riset dan Pendidikan Publik (dalam bentuk seminar, workshop, forum-forum diskusi, konferensi, dan sebagainya). Terutama untuk keperluan inilah, karena seperti halnya universitas lain belum cukup dana yang dialokasikan untuk ini, kami juga mencari dana dari dalam maupun luar Indonesia, yang hampir semuanya merupakan program kompetitif. Artinya usulan kami disandingkan dengan usulan-usulan lain, dan dilihat kualitasnya. Untuk ini, kami pernah bekerjasama dengan beberapa lembaga dari AS, Belanda, Australia, Norwegia, dan sebagainya.
Jika di atas dikatakan bahwa mustahil lembaga seperti CRCS bisa menjadi “sekadar lembaga akademik” dalam konteks Indonesia, maka yang ingin saya katakan adalah bahwa program studi tumbuh dan merespon persoalan-persoalan di masyarakatnya. Sejauh menyangkut perhatian utama CRCS sebagai program studi kajian agama, untuk menyederhanakan bisa kita sebut ada dua jenis masalah utama dalam konteks Indonesia. Pertama, masalah-masalah yang terkait dengan agama secara langsung atau tak langsung (misalnya: konflik bernuansa agama, hubungan antar komunitas-komunitas agama, hubungan agama dan negara, atau pendidikan agama). Kedua, masalah-masalah yang sebetulnya masalah “non-agama” (seperti krisis lingkungan, kemiskinan, bencana alam, atau kesehatan), namun agama bisa memiliki peran konstruktif di dalamnya.
Untuk contoh terakhir ini, misalnya, selama tiga tahun ke depan, kami mengembangkan riset mengenai “Agama dan Bencana”. Yaitu, bagaimana agama menginterpretasi dan merespon bencana alam dari perspektif, ilmu, agama, dan budaya. Ini adalah respon terhadap makin banyaknya bencana alam di Indonesia belakangan ini. Sementara disaster studies telah berkembang pesat dalam disiplin-disiplin seperti geografi (termasuk manajemen bencana) dan ilmu-ilmu sosial (misalnya antropologi bencana), seringkali agama, yang menjadi faktor penting dalam penafsiran maupun respon orang terhadap bencana, tak terlalu diperhitungkan. Analisis yang ingin kami kembangkan adalah upaya integrasi perspektif teologis, sosial, dan ilmiah. Ini bisa dipandang sebagai kelanjutan dari program kami sebelumnya yang ingin mengembangkan wacana ilmu dan agama (termasuk agama dan lingkungan dan bioetika), kali ini dalam bentuk yang lebih kongkret.
Sebuah program lain yang kami sedang kembangkan setidaknya hingga akhir 2010 menyangkut pluralisme sivik. Yaitu, praktik pluralisme (dalam definisi yang dikembangkan dalam ilmu politik dan filsafat politik, bukan definisi teologis). Ini bukanlah pengembangan suatu “ideologi pluralisme”; tapi terutama penelitian mengenai bagaimana hubungan-hubungan sosial antar komunitas, khususnya komunitas agama, terjadi dalam masyarakat (misalnya, bagaimana masyarakat merespon potensi konflik bernuansa agama, bersikap atas kehadiran identitas agama lain di ruang publik) dan juga bagaimana kebijakan negara berperan—secara positif atau negatif—dalam kehidupan beragama masyarakat (termasuk, misalnya, mengenai kebebasan beragama, bagaimana negara mendifinisikan “agama, atau hak minoritas). Satu sisi lain yang tak terpisahkan adalah menyangkut keragaman agama dan kebangkitan agama (terutama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha) di ruang publik, yang merupakan fenomena di seluruh dunia saat ini. Isunya di sini adalah bagaimana dalam sebuah negara demokratis, aspirasi agama sebagai kekuatan moral di ruang publik dapat diwadahi, dan sejauh mana. Pertanyaannya adalah “bagaimana”, bukan “apakah agama bisa tampil di ruang publik”, karena seperti banyak ditunjukkan kajian sosiologis, itu sudah tak menjadi pertanyaan lagi: suka atau tidak, agama memang sudah dan selalu hadir di ruang publik. Kami berharap dalam beberapa bulan ke depan, hasil-hasil awal dari penelitian ini sudah bisa kami tampilkan untuk pengetahuan publik.
Dalam kaitan ini agak mengherankan jika Sdr. Adian Husaini mengesankan secara negatif (seperti tampak dalam judulnya) bahwa upaya-upaya “Lintas Agama” adalah sebentuk propaganda. Kita melihat, belakangan ini upaya dialog lintas agama telah makin menjadi mainstream di dunia, termasuk dunia Muslim. Di antara beberapa peristiwa mutakhir menyangkut “lintas agama” adalah inisiatif Common Word (yang berpusat di Yordania), yang dimulai dari surat lebih dari seratus tokoh Muslim (dan sebagian besar berani saya katakan, bukan “Muslim liberal” yang tak disukai Adian) kepada umat Kristiani. Baru-baru ini pula Kerajaan Arab Saudi mensponsori dialog di beberapa tempat, termasuk di PBB (New York). Menarik bahwa dalam dialog itu tampak ada pertentangan keras antara beberapa negara Muslim, termasuk Turki, dengan beberapa negara Eropa, seperti Denmark, menyangkut kebebasan berekspresi. Tapi justru adanya pertentangan ini menunjukkan pentingnya dialog terus dilakukan. Di dunia Muslim sendiri, dialog dalam pengertian kontemporernya telah mulai diangkat sejak tahun 1960an, mendahului beberapa lembaga Kristen ternama, seperti World Council of Churches. Pada 1962, misalnya Mu’tamar al-‘Alam al-Islami (Kongres Muslim Dunia), yang didirikan di Mekkah berbicara mengenai pentingnya dialog. Rabitah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia), yang juga didirikan di Mekkah, pun menanggapi Konsili Vatikan Kedua (yang sebetulnya masih mengandung beberapa kelemahan dalam pandangannya tentang Muslim) dengan sangat optimistik.
Terakhir, komentar singkat untuk beberapa point lain Sdr. Adian. Dalam tulisannya “Upaya Meliberalkan Guru Agama” (November 2008), ia menyebut salah satu bagian dari talkshow Resonansi (yang disebut di awal tulisan ini). Secara umum, misi kami dalam program talkshow tersebut adalah membuka ruang percakapan yang sehat dengan mengangkat topik-topik aktual menyangkut agama dan budaya, mengundang nara sumber yang beragam, dan membuka dialog interaktif dengan pendengar dan pemirsa. Ucapan nara sumber tak bisa diangap sebagai pernyataan resmi CRCS. Tak jarang kami justru mengundang wakil dari kelompok yang tak setuju dengan apa yang dianggap oleh Adian sebagai “misi penghancuran fanatisme umat beragama ....” Dalam tema-tema tertentu, misalnya, kami pernah mengundang wakil MMI, sebagaimana kami pernah mengundang wakil Ahmadiyah atau Aliran Sapta Darma. Meski mereka tampil di acara yang kami rancang, pandangan mereka tak bisa dikatakan mewakili misi CRCS. Hal yang sama berlaku untuk sebuah program yang dijalankan CRCS dan ICRS tahun lalu, sebuah serial workshop mengenai agama dan globalisasi yang menghadirkan wakil-wakil dari HTI, majalah Sabili, termasuk juga beberapa lembaga Kristen, Buddham, dan Hindu yang beragam. Apa yang disampaikan dalam forum itu tentu tak harus mewakili CRCS.
Perlu pula dijelaskan bahwa buku Resonansi yang dikutip Adian merupakan buku pertama dari dua buku yang direncanakan terbit. Buku pertama temanya di sekitar hak sipil politik (termasuk di dalamnya pendidikan agama), dan buku kedua lebih ke hak sosial, budaya, ekonomi (ada tema tentang krisis lingkungan, bencana alam, pembangkit listrik tenaga nuklir, kemiskinan, difabel, HIV/AIDS, dan sebagainya).
Semoga penjelasan ini sedikit banyak membantu membantu Sdr. Adian dan para pembaca tulisannya untuk mengetahui mengenai CRCS dari tangan pertama. Kami tak mau bersombong diri mengatakan bahwa kami memiliki misi-misi yang terlalu besar yang kami sendiri tak yakin dapat mencapainya; tapi kami cukup bangga bahwa lembaga ini sudah mampu bertahan selama hampir satu dasawarsa, dan terus membuka diri untuk mengembangkan diri. Misi terpenting kami, secara umum, adalah misi pencerdasan dan pengembangan sikap keagamaan yang sehat di alam demokrasi, demi keadilan dan kedamaian. Dan kami percaya bahwa jalan terbaik melalui itu adalah melalui dialog dan menumbuhkan semangat berpikir sendiri, bukan melalui semacam indoktrinasi suatu ideologi—apakah itu disebut pluralisme, liberalisme, Pancasila, atau apapun. Kami akan sangat senang untuk memberikan penjelasan tambahan, jika diperlukan, dan berdialog lebih jauh secara sehat.
Kiriman: Zainal Abidin Bagir
Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

Sumber: http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8878:tanggapan-untuk-adian-crcs-bukan-sekedar-lembaga-studi-biasa&catid=100:surat-pembaca&Itemid=57

Post a Comment - Kembali ke Konten

Previous Newer Post
Propaganda ”Lintas Agama” yang Kian Canggih