Sisi Gelap Demokrasi; Otokrat Liberal sebagai Pilihan Strategis
Pertanyaannya, benarkah yang kita butuhkan adalah demokrasi?
“Kita hidup di zaman demokrasi,” demikian Fareed Zakaria memulai karyanya, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003). Demokrasi merupakan fenomena global yang tak terbantahkan. Ia tidak hanya merambah di dunia politik, melainkan juga mewabah di ranah ekonomi bahkan budaya. Globalisasi, kekayaan informasi, dan teknologi sesungguhnya adalah pertunjukan demokrasi. Pergeseran demokratis dalam budaya ditandai dengan semakin tersingkirnya standar-standar kualitas dan digantikan oleh peran kuantitas. Perubahan drastis dunia menuju demokrasi ini dipicu oleh tiga hal: revolusi teknologi, perkembangan kelas menengah, dan runtuhnya sistem-sistem alternatif. Dan Amerika adalah aktor di belakang layar yang paling penting dari tiga perubahan mendasar di atas. Di bidang informasi, misalnya, perkembangannya membawa perubahan besar dalam sistem kebijakan publik. Tahun 1920-an, jaringan informasi menjadi corong sentralisasi. Pada masa itu, gerakan-gerakan perebutan kekuasaan selalu terpusat pertama kali kepada sumber-sumber informasi. Saat ini, jaringan informasi begitu membludak, sehingga tidak memungkinkan satu kekuatan politik manapun menguasainya secara menyeluruh. Thomas Friedman menyikapi fenomena internet dengan mengatakan: “internet adalah satu sistem dimana setiap orang dapat dihubungkan tapi tak seorangpun yang dapat dikontrol.” Jaringan informasi saat ini malah semakin melemahkan pusat-pusat kekuasaan dengan munculnya terorisme dan gerakan separatis yang secara sistematis menggunakan jaringan informasi yang tak dapat dikontrol tersebut. Tak ayal lagi, demokrasi akan menjadi pilihan tunggal bagi sistem kehidupan dunia.
Jalan Menikung Demokrasi
Orang mungkin boleh berbangga dengan kenyataan ini. Francis Fukuyama boleh menutup sejarah dengan kemenangan demokrasi liberal. Samuel P. Huntington boleh mengemukakan grafik gelombang demokrasi yang semakin menaik.Tapi apa yang dimaksud dengan demokrasi? Selama ini istilah demokrasi selalu merujuk kepada angan-angan Barat tentang demokrasi liberal: terciptanya pemilihan umum yang bebas dan adil, adanya rule of law, pembagian kekuasaan, terjaganya kebebasan berbicara, berkumpul, beragama, dan berkepemilikan. Definisi seperti ini menyesatkan dalam faktanya. Fareed Zakaria mencoba memisahkan konsep liberty dan demokrasi. Pada kenyataannya, demokrasi dan liberalisme tidak selalu seiring sejalan. Yang mencapai puncak-puncak kemajuaannya saat ini adalah demokrasi, bukan liberalisme.
Demokrasi di negara-negara Asia Tengah justru melapangkan jalan bagi kediktatoran. Indonesia dan Yugoslavia tampak lebih toleran dan sekuler pada masa pemerintahan Soeharto dan Tito dibanding pemerintahan sekarang yang demokratis. Bukan mustahil negara-negara Arab akan melahirkan diktator yang lebih sadis ketika mereka membukan kran demokrasi dibanding diktator yang sekarang memimpin. Masa depan Iraq justru lebih mengerikan sepeninggal diktator Saddam Husein. Kasus-kasus itu dipicu oleh perayaan demokrasi dengan menghilangkan prinsip-prinsip liberalisme—secara khusus, Zakaria menyebutnya “liberalisme konstitusional.”
Berbeda dengan demokrasi, liberalisme konstitusional bukanlah serangkaian proses seleksi pemerintah, melainkan lebih sebagai hasil-hasil pemerintah. Disebut liberal karena menggambarkan ketegangan filosofis sejak Yunani dan Romawi yang menekankan kebebasan individu. Disebut konstitusional karena menempatkan the rule of the law pada pusat politik. Oleh karenanya, liberalisme konstitusional merujuk kepada pembelaan hak-hak kehidupan dan kepemilikan individu serta kebebasan beragama dan berbicara. Dari sana kemudian muncul konsep pengawasan kekuasaan pemerintah, kesamaan di bawah hukum, pemerataan pengadilan, dan pemisahan agama dan negara.
Fakta mengatakan, bahwa negara-negara Barat menjadi demokratis baru pada tahun 1940-an. Seratus tahun sebelumnya, negara-negara Barat justru telah mengadopsi prinsip-prinsip liberalisme konstitusional. Pada kasus Jerman, contoh yang paling populer, sebelum perluasan hak suara diberikan kepada warganya pada tahun 1880-an dan 1890-an, Jerman adalah wilayah dimana liberalisme begitu dijunjung tinggi. Pada tahun 1860-an dan 1870-an, pemilihan umum hanya diikuti oleh middle class yang terdidik dan kaya. Tapi setelah perluasan hak suara diberikan kepada semua warga laki-laki dewasa, yang terjadi adalah mobilisasi kaum buruh (oleh sosialis) dan kaum tani (oleh ultra nasionalis). Karl Lueger kemudian berusaha mengkombinasikan antara komunisme dan nasionalisme ke dalam apa yang disebut Cristian Socialism. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh Hittler dengan membuat National Socialism (NAZI). Pemilu tahun 1930—delapan tahun setelah berdirinya—NAZI mengantongi suara 18 % dengan berada di urutan kedua. Tahun 1932, terjadi dua kali pemilu dan NAZI memenangi keduanya dengan 37 dan 33 % suara. Kemudian pemilu tahun 1933, NAZI menjadi pemenang mutlak dengan mengantongi 44 % suara.
Kanselir terkenal Jerman, Otto Von Bismark menjelaskan kenapa diperlukan perluasan suara di Jerman. Baginya, karena middle class terlalu kritis. Sementara perluasan suara kepada massa akan melanggengkan kekuasaan monarkhi konservatif. Tidak ada niat baik di sana. Nasionalisme otoritarian rasis yang muncul pada akhir Republik Weimar, menurut Jack Snyder, disebabkan oleh demokrasi kehidupan publik. Pada paruh pertama abad 20, terjadi perluasan hak suara di banyak negara. Tapi pada saat yang sama, liberalisme ditindas di mana-mana. Baru pada paruh kedua, otoritarianisme populis tersebut dihancurkan.
Negara-negara bekas komunis, Yugoslavia, yang mencoba sistem demokrasi justru jatuh ke dalam konflik rasial yang berkepanjangan. Rusia sendiri yang telah mengakhiri masa pemerintahan komunis sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, sampai sekarang masih terkatung-katung dalam keterpurukan ekonomi. Negara-negara Afrika masih dihantui kekerasan-kekerasan kemanusiaan dan bahaya kelaparan sampai sekarang. Teori demokrasi yang memberi harapan akan jaminan keamanan dan kesejahteraan (Huntington dan Robert Dahl) ternyata banyak terbantahkan di dunia nyata.
Fareed Zakaria tentu saja tidak menolak bahwa demokrasi adalah pilihan politik yang paling ideal. Hanya saja, ia melihat demokrasi dan liberalisme kadang-kadang banyak disalahpahami. Apa yang terjadi di banyak negara tersebut hanyalah fenomena bangkitnya demokrasi, bukan liberalisme.
Kesalah pahaman itu misalnya ketika Hongkong akan memisahkan diri dari kekaisaran Inggris dan menyatu dengan Cina, banyak kalangan yang mengkhawatirkan akan terjadi penghapusan demokrasi yang telah ada di Hongkong. Padahal sebetulnya Hongkong tidak demokratis. Pada kasus lain, banyak orang yang menganggap bahwa Palestina itu tidak demokratis karena di sana terjadi banyak kekerasan kemanusiaan. Padahal Yasser Arafat terpilih sebagai pemimpin Palestina secara demokratis. Salah kaprah mengenai demokrasi yang dicampuradukkan dengan liberalisme membuat berbagai analisis kadang-kadang keliru.
Liberal Otokrat
Persoalannya, bagaimana membuat satu sistem pemerintahan yang menyatukan demokrasi dan prinsip-prinsip liberalisme? Atau bagaimana negara-negara yang sedang berada pada transisi menuju demokrasi atau negara-negara yang akan memasuki transisi bisa menciptakan sebuah sistem demokrasi jenuin? Pertama-tama, Fareed Zakaria mencoba membenarkan banyak jawaban yang menganggap ekonomi sebagai faktor paling penting dalam perkembangan transisi menuju demokrasi. Sejak awal kelahiran demokrasi, faktor ekonomilah yang membuat sistem ini berkembang luas. Jawaban klasik yang diberikan adalah bahwa ekonomi menghasilkan borjuis dan oleh karenanya middle class yang kuat. Sejarah demokrasi Amerika dan Inggris ditandai oleh perkembangan ekonomi yang kemudian munculnya borjuis-borjuis sebagai middle class. Amerika sendiri, menurut Tocqueville, adalah negara yang semua penduduknya adalah middle class. Inggris adalah contoh yang sangat baik dalam hal ini. Revolusi industri telah menciptakan borjuis-borjuis awal di Inggris yang akhirnya menjadi kekuatan masyarakat sipil di luar negara. Barington Moor Jr. menegaskan: “no bourgeoise, no democracy.”
Pada titik ini, menurut Zakaria, reformasi ekonomi harus didahulukan ketimbang reformasi politik. Tidak mungkin sebuah negara bisa menerapkan demokrasi yang jenuin (demokrasi liberal) tanpa tatanan ekonomi yang mapan. Mexiko memberikan pelajaran yang sangat berharga. Pada tahun 1980-an, ketika Mexiko dilanda krisis utang, PRI, partai yang berkuasa dalam sistem satu partai sejak tahun 1926, melakukan reformasi ekonomi dengan membuka diri terhadap dunia ekonomi dan melonggarkan sistem ekonomi domestiknya. Tahun 1990-an, Mexiko mulai melakukan reformasi politik. Dan pada tahun 2001, Presiden Ernesto Zedillo memutuskan untuk mengadakan pemilu bebas yang pertama dalam sejarah Mexiko. Mexiko kemudian menjadi negara demokratis yang jenuin.
Kasus berbeda dialami oleh Rusia yang memulai perubahan di negerinya dengan reformasi politik. Dan sampai sekarang, demokrasi dan perkembangan ekonomi Rusia tidak pernah benar-benar stabil. Zakaria membenarkan kepemimpinan otokrat untuk mengawal reformasi ekonomi menuju reformasi politik. Reformasi ekonomi yang terjadi di Cina dan kemapanan ekonomi yang ada di Singapura, cepat atau lambat, akan membuat kedua negara non-demokratis itu menjadi negara-negara demokratis yang jenuin. Awal menuju demokrasi jenuin bukanlah illiberal democracy, melainkan liberal otocract.
@
Tagged @ Demokrasil
0 comments:
Post a Comment - Kembali ke Konten